Senin, 08 Desember 2014

Mblo, Love Via Facebook Bag IV



Semester hari ini berjalan lancar seperti biasanya, mungkin nanti malam aku harus begadang karena matematika menunggu di hari rabu. It’s oke, bismillah mudahan bisa. Hari ini aku dapat coklat yang tidak sengaja ku temukan di laci mejaku, mungkin syukron yang diam – diam meletakkannya disana. Aneh banget karena aku merasa hari ini ada banyak cwok yang suka padaku, ah, mungkin perasaanku saja.
Gak kerasa udah 18 tahun ya, dan hari kemarin sangat membosankan. Terakhir ku tau ternyata Dion sudah berencana untuk menikahi kak Dila di tahun ini, dan aku tidak suka dengan kak Dila. Dia tidak ramah padaku bahkan cemburuan berat, padahal aku adalah calon adik ipar loh. Dan kado yang ku terima baru ku sadari ternyata kurang, biasanya Dion memberiku kado double setiap tahunnya, mungkin karena hadiah tahun ini terlalu mahal jadi hanya satu (duh, maruk).
“assalamu’alaikum..”
“wa’alaikumussalam warohmatulloh” jawabku
“loh, Aini? Aini kan?” tanyanya. Aku hanya kaget karena tidak biasanya guru mengunjungi rumahku.
“oh, Pak Rian.. Masuk dulu pak, ada Perlu apa ya?” tanyaku.
“kamu, gak pake jilbab?” tanyanya terbata dan masih belum melangkah dari tempatnya. Baru kusadari, jilbabku belum ku pasang sejak ganti pakaian tadi. Segera ambil jilbab terdekat yang bisa ku raih dan langsung ku pasang.
“maaf pak, oh ya, ada perlu apa ya?”
“Mungkin saya salah rumah, maaf, tau rumahnya Dion gak? Dion Mahendra”
“Oh, saya adeknya Pak...” huh, tuh kan, Pasti pak rian juga gak nyangka kalo Dion punya adek se bebel aku.
“oh gitu ya.. Dion ada?”
“Dion jam segini masih kerja pak, Pulangnya ba’da ashar” jawabku
“yaudah kalo gitu saya pulang dlu ya, nanti salam sama dion aja... oh, hmm,, gak usah salam dah, biar saya aja yang kasih tau, jangan kasih tau dia saya tadi mampir ya aini”
“nggeh pak.. gak mau masuk dulu, minum dulu pak” tawarku
“tidak usah, J saya pulang dulu ya,, Assalamu’alaikum”
Yah, Pak Rian pulang, dia terlihat sangat canggung, apa Dia masih inget soal kemasukan daun itu ya? Ah, gak pikirin. Skarang waktunya istirahat siang, terus belajar. Ooh matematika menungguku...
“assalamu’alaikum”
“wa’alaikumussalam warohmatulloh” jawabku
Setelah ku buka pintu, ternyata Dion sudah ada didepan pintu.
“ngagetin aja..! kok cepet pulang?” tanyaku
Wajahnya Pucat dan agak buru – buru, apa ada yang salah? Apa yang terjadi? Jangan buat aku jadi takut seperti ini Dion..!!
“kita ke semarang nanti sore. Buruan siep – siep. Ibu mana?” jawabnya dengan cepat sambil berlari ke kamarnya. Ada apa???!!! Air mataku sepertinya tidak bisa berkompromi lagi, mataku perih tiba – tiba.
“Mbah Ratih di semarang sedang kritis, kita harus kesana.. tadi pagi pengacaranya menelpon dan mengirimkan tiket untuk jam 04.00, masih ada 2 jam buat beres – beres..”
“Mbah Ratih? Siapa?” tanyaku
“gak bisa dijelasin sekarang.. dia satu – satunya nenek yang kita punya.”
“Kenapa Mbah Ratih?” Ibu muncul dari dalam, sepertinya sangat shock. Apa sepenting itukah Mbah Ratih ini?
“Beliau katanya kena serangan jantung, dan sekarang sedang kritis di RSUD Muhammadiyah di semarang. Kita diminta datang oleh pengacaranya, beliau ingin bertemu sebelum menghembuskan nafas terakhir.” jelasnya
“kalau begitu, ayo kita berangkat sekarang.” Pinta ibu. Tidak pernah ku lihat ibu se cemas itu sebelumnya, siapa sebenarnya Mbah Ratih yang dibicarakan mereka itu? Aku tidak pernah mendengar nama itu sebelumnya.
“Nggak beres – beres dulu bu?” tanyaku
“gak perlu, lagian ajal tidak menunggu kita beres – beres.” Jawabnya sembari mengambil jaket didalam lemari.
“tapi Bu, ain perlu membawa baju..” jelasku
“Kita sedang buru – buru. Terus kalau mau bawa baju, kenapa dari tadi kamu diem aja disitu? Ambil tasmu dan bawa baju secukupnya aja, kita gak pergi liburan.!” Jawabnya ketus, sambil memeriksa tas tangan yang akan dibawanya.
“oh ya, Dion Udah siap belum?.. tiketnya Berapa?” tambahnya.
“Empat Bu,” jawab Dion dari dalam kamar.
Baru saja aku membuka lemari dan memilah baju yang akan ku bawa, ibu sudah berlari keluar menunggu taksi. Heran yang seeeee heran – herannya, kenapa mesti se buru – buru itu.. huft..
“Dion, buruan,. Taksinya Sudah Datang..” teriak Ibu dari luar
Hah, udah datang.. kapan ibu menelpon taksi?? Ku dengar Dion sudah berlari Keluar, dengan segera ku jejelkan baju – baju itu tanpa memilih dan segera keluar.
“Ain, kamu perginya belakangan aja sama Bapak. Ini tiketnya, ibu sama Dion duluan ada yang mesti diurus. Tunggu Bapak Pulang sebentar lagi, terus langsung kebandara, ibu tunggu disana”
Ah, ini yang paling menjengkelkan. Dengan segera taksi melaju dengan kencangnya, meninggalkan rasa heran dan penasaran yang semakin menggunung di pikiranku. Hanya dalam waktu 30 menit, mereka sudah bisa membuatku jengkel dan bingung, dalam waktu yang bersamaan juga aku merasa khawatir yang tidak tau datangnya dari mana.