♥SECRET
“Gita sayang...
Nenek tidak bermaksud menyembunyikan semua ini darimu, hanya saja,
nenek menunggu waktu yang tepat untuk menceritakan semuanya. Kesalahan terbesar
nenek, Maafin nenek... terimakasih atas waktumu yang berharga...”
Gadis itu terdiam sendiri di sudut pemakaman.
Memandang nanar kedepan tanpa menghiraukan seseorang yang menunggu
disampingnya. Hatinya sedang terguncang hebat dengan kenyataan yang baru saja
dibacanya. ‘benarkah semua ini? Nyatakah ini semua?’ pikirannya merambah jauh
melintasi lorong waktu, diremasnya tanah pemakaman di depannya. Giginya
bergeretak karena marah, marah pada dirinya sendiri, marah pada keadaan, marah
pada kenyataan yang baru saja terbuka.
“nenek...” bisiknya perlahan
Disampingnya seseorang sedang memperhatikan
dengan penuh tanya tapi lebih memilih diam, Dia tau, pasti sangat menderita
ditinggal satu – satunya keluarga yang tersisa.
“tha? Udah sore, mendingan kita pulang, besok
pagi kita kesini lagi” bujuknya pada sahabat karibnya,
“kamu pulang duluan Rina, aku masih mau
disini” jawabnya datar
“yaudah, aku temenin kamu sampe kamu puas”
“kamu kasian sm aku ya?”
“nggak kok tha, lagian kamu ikhlas aja, kan
masih ada aku, keluarga aku ‘kan juga keluarga kamu Tha..”
“aku gak sendiri kok Rin,, aku punya mama,
punya papa dan kakak, aku punya keluarga..” jawabnya dengan nada berat
“tha? Kamu yakin?” matanya melebar dengan
senyum kecil. heran. bukankah selama ini dia Cuma punya nenek? Bukankah dia
anak yatim piatu?.
“aku mau nyari keluargaku Rin, mungkin mereka saat ini sedang menungguku.. mungkin mereka sedang menderita karena aku” matanya
sedikit merah, senyumnya merekah. Dipandanginya seonggok tanah dengan banyak
taburan bunga didepannya. Terlihat sekali bahwa ia sangat ingin menangis, tapi
ini bukan waktu yang tepat. Dia butuh ruang tersendiri agar tidak terlihat
lemah.
*****
Dion
menggeleng – geleng melihat hasil ulanganku.
“masih tetep sama.. masalah lu apa sih?”
tanyanya sambil memperhatikan secarik kertas yang tidak lain adalah lembar
jawaban matematikaku, terpampang jelas Angka 7 di bagian kanan atas.
“ya gw gak ngerti aja.. padahal udah berusaha
kuat tenaga, tapi ya tetep aja segitu..” elakku. Sejujurnya aku tidak belajar
saat itu karena kepikiran sosok si Mbah Ratih, dan sebenarnya menyesal sekali
rasanya tidak ikut kesemarang hari itu, ditambah lagi pak Rian yang tiba – tiba
dateng malem – malem Cuma buat nanyain Dion.
“padahal Gw udah sewain guru privat
Matematika buat lu. Tetep aja lu gak move on dari ni angka. Padahal matematika
gak sesulit itu kok..”
“guru privat dari Hongkong..! mana guru
privatnya? Heeuuh”
“tekooor dah gw..! gw udah taruhan sama guru
matematika Lu..”
“whaaat???? Re u serious?? Tau darimana lu
guru matematika Gw?”
“temen kuliah Gw dulu. Kalo lu bisa dapet 90
di ulangan yang bakal dateng, gw kasih lu 100rb.!”
“lu becanda??! Dapet 7,1 aja susah binggow
apalagi 90.!”
“gw cariin lu guru privat.. pokoknya lu
tenang aja dah, lu tinggal belajar.! Temen gw yang bakal ngajarin Lu.!”
“tserah lu aja dah.. tapi gw saranin, mending
lu batalin aja dah taruhannya. Otak udang kayak gw, gak akan mampu dapet 90.”
“gw percaya sm lu..” katanya meyakinkanku
dengan tatapan matanya yang sedikit tajam, setajam silet. #Feni_Rose
“Dion, tolong panggil amak senah.. kebon
dibelakang udah gak karuan rupanya..”
“ya bu..” jawabnya.
Aah.. hari minggu seperti ini emang lebih
enak tidur. Sinta dan santi sekarang pindah ke jawa, entah dimana mereka
tinggal sekarang. Kangen.. L psikiaternya tidak menetap di sweta, beliau adalah orang
sumbawa, dan sering berpindah – pindah tempat tinggal.
“ain.. bantuin amak senah bersihin kebon
ya..” kata ibu.
“aaah.. bu, ain ngantuk banget..”
“gak bisa.. pokoknya km bantuin amak bersihin
kebon. Toh kalo udah bersih, kamu juga yang seneng kan..”
“ya Allah,, dosa apa aku sampe punya ibu
kayak gini” bisikku
“apa km bilang???”
“gak ada bu.. iya ni mau bersihin kebon.”
‘Bersihin kebon. Oooh.. apa gak ada yang
lebih bagus ya? Anak gadis bersihin kebon?’ tapi eh.. Amak belom dateng..
“dioon... bantuin bersihin kebon”
“nggak ah.. lg sante ni..”
“dion, km juga bantuin ain bersihin kebon
sana,.” Ibu tiba2 masuk kekamar dion sambil membawa pisau. Sontak dion berdiri
dan dengan cepat menyanggupi membersihkan kebon bersamaku.
“aah... pagi – pagi itung – itung olahraga..”
sahut bapak dari dalam rumah.
“aah pak, gak adil ne.. masak kita aja...”
“sapa bilang kalian aja?” jawab bapak sambil
keluar membawa parang dan cangkul. “bukan kalian aja yang dipaksa ibu” sambungnya.
“haha...”
Gak kerasa sekarang kebon sudah sedikit
bersih meski amak senah tidak datang sama sekali, bapak memang tukang cangkul
handal, dan aku tukang sabit terhandal. Dan dion memang tangan besi, ini
terpaksa dia lakukan karena sedang tidak mood makan rumput. Waktunya istirahat
dibawah pohon mangga yang sekarang sudah mulai berbuah, rencana jahatku sedang
tersusun untuk buah mangga muda yang tidak berdosa ini. Haruskah ku petik
buahnya untuk rujakan? Atau ku biarkan dia hidup demi masa depanku agar dapat
mencicipi kedewasaannya. HA HA HAA #ketawa sinis
“Dion, tolong bantuin Bapak. Ini cangkulnya stuck , kayaknya ada kayu di sini.”
Bapak membuyarkan lamunanku. “kayu biasa mungkin pak...” jawabku seadanya. Dion
berlari kearah Bapak sambil membantunya menggali untuk mengeluarkan sesuatu
seperti peti yang tidak terlalu besar tapi terlihat sangat berat.
“harta qarun ya pak..?” tanyaku sembari
mendekat karena penasaran.
Dion hanya menganga, keringat dingin mengucur
deras dari balik baju kaos warna abu yang digunakannya. Bapak antusias sekali
membuka temuan kami (ehem.. temuan Bapak).
“kalian jangan bocorin ini ke Ibu ya?”
pintanya sambil berbisik.
“Pak. Jangan dibuka..!” Dion segera merebut
cangkul yang akan digunakan untuk membuka Peti Harta Qarun temuan kami (ehem..
temuan Bapak).
“Dion Balikin cangkulnya. Biar kita lihat isi
petinya..” sergah Bapak. Aku hanya bisa Diam dan ikut bergetar saat Dion terlihat
sangat takut memberikan cangkulnya, dengan sedikit berlari ia menjauh dari kami
dan segera pulang memanggil Ibu.
“Sial si Dion.! Maksudnya apa sih? Ayo cepet
ain, kita sembunyikan dulu petinya. Ntar keburu Ibu datang.!” Bapak terlihat
sibuk mengangkat Peti, dan mau tidak mau ia meletakkannya kembali di Lubang
semula dan menutupnya dengan tumpukan rumput hasil bersih – bersih tadi. Tiba –
tiba Ibu sudah berada dibelakang kami dengan tatapan Khas seram miliknya.
“Bapak nyembunyiin sesuatu dari Ibu?” tanyanya
dengan nada datar yang lebih tepat disebut introgasi.
“Nggak kok.. Bapak sama Ain lagi ngumpulin
rumput..” katanya dengan akting yang cukup bagus.
“Ia kan?” tanyanya sambil menginjak jari
kakiku.
“iya” jawabku seadanya.
“gak usah bohong. Dion udah cerita semuanya
kok.”
“cerita apa Bu?” tanya Bapak dengan nada
terbata.
Sepenting apakah peti ini sampai dia terlihat
sangat takut seperti itu? Apakah isinya Mayat? Ato sejenis Barang – barang untuk
pemujaan setan? Takut dan gemetar ini tidak bisa ku sembunyikan lebih lama lagi,
mataku terasa perih, debar jantungku seakan bisa didengar orang se kecamatan, nafasku
sudah tidak karuan lagi alurnya.
“kalian capek dan laper ‘kan? Tapi gak berani
bilang – bilang.. Dion Bilang kalian ngomongin Ibu dibelakang, hayo ngomong
apa?!”
Hah.. sedikit lega rasanya karena ternyata
Dion masih menyembunyikan temuan kami (ehem.. temuan Bapak). Sekarang nafasku
sudah bisa ku atur sedikit lebih pelan. Aku dan Bapak saling pandang, ada rona lega
juga dikedua matanya.
“kalo sudah selesai istirahat dulu, Ibu sudah
buatkan es teh dan pisang goreng”
“ini sudah selesai.. haha.. ayo ain, masuk
dulu” nada bicara Bapak sedikit membuatku relax.
Aku berjalan membututi Bapak, mataku tidak lepas
memandang tumpukan rumput, pikiranku berkelana mencari berbagai kemungkinan isi
Peti yang masih tersembunyi. Rasa penasaran kini seakan memenuhi jiwaku. Semuanya
terasa aneh.. aneh sekali.. perasaanku gak karuan saat ini. Aku seperti terisolasi
dalam kehidupan yang tidak memberikanku kejelasan sedikitpun, Kenapa aku
dibedakan dikeluargaku sendiri? Kenapa seakan dia bukan Ibuku? Kenapa merahasiakan
banyak hal dariku? Orang – orang yang tidak ku kenal, tetapi ternyata cukup
dekat dengan keluargaku. Heuh, ku tahan nafasku untuk sesaat, lalu
menghembuskannya perlahan. Ku pikir, semuanya perlu diperjelas, semuanya perlu
dicari, seakan ada banyak hal diluar sana yang menunggu aku untuk menemukannya.